Ar Yu ReDEY..?!

MELAWAN GUS KAPITAL

Oleh: Rizal Mubit*

Pacarku terkena masalah besar di pondoknya. Kasusnya adalah ketahuan sedang menjalin hubungan dengan lawan jenis. Kasus ini termasuk pelanggaran yang berat hukumannya. Untungnya tidak ada yang tahu kalau akulah lelaki yang sedang menjalin hubungan dengannya. Selama ini kami masih merahasiakan status lantaran takut terkena kasus. Namun apa boleh buat, yang kami takuti pun terjadi. Informasi terakhir yang kudengar, dia akan masuk mahkamah satu. Mahkamah satu meruapakan mahkamah tertinggi di pondok. Masa depan studinya akan ditentukan oleh sidang itu. Pilihannya cukup rumit. Keluar dari pondok atau menikah denganku.

Aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Otakku sudah lelah berpikir kesana kemari. Akhirnya kuputuskan, besok pagi aku harus pulang ke Gresik. Tak masalah kuliah sementara kutinggal dulu.

Jam tujuh pagi aku pulang. Perjalanan Semarang-Gresik memakan waktu cukup lama, kurang lebih tujuh jam. Spekulasiku terus mencoba menghubungkan fakta-fakta dan masalah-masalah yang dialami kekasihku. Selama ini hubungan kami hanya lewat telpon. Terakhir bertemu dua bulan yang lalu saat liburan semester. Itupun hanya sebentar. Pihak pondok tak ada yang tahu karena aku bertemu di rumahnya di Lamongan. Tak mungkin orang tuanya lapor ke pondok.

Di dalam bus, aku tak bisa tidur seperti biasa. Aku mencoba mencari informasi dari adikku. Selama ini, adikku lah yang mengabarkan tentang Fela padaku.

"Mas, dua hari lagi, mbak Fela disidang. Tadi malam dia dipaksa menulis pelanggaran-pelanggarannya selama di pondok untuk dijadikan barang bukti"

Itulah sms terakhir yang baru saja kuterima. Aku semakin bingung. Kalau aku menikahinya, berarti beasiswaku dicabut. Jika terjadi, masa depanku semakin tak jelas. Harapan satu-satunya selama hidupku adalah beasiswa ini. Beasiswa dari pemerintah yang tak mudah meraihnya. Perjuangan yang melelahkan itu tak mungkin akan kuhentikan demi mengorbankan wanita.

Namun aku juga tak sampai hati jika membiarkannya didepag dari pondok. Sudah tujuh tahun di pondok, tak mungkin harus diakhiri dengan su'ul khotimah. Aku rela jika memutus hubungan, tapi apakah para ustazd yang menjadi hakim mau menerima tawaran kami. Mereka memang ustadz-ustadz yang baik ketika santri baik. Tapi jika mengetahui santri melanggar peraturan, maka berbeda lagi sikapnya. Apalagi pelanggaran berat seperti pacaran. Beberapa santri sudah dikeluarkan dari pondok gara-gara kasus pacaran.

Dulu aku pernah juga menjadi santri di sana. Hanya tiga tahun. Saat itu aku tak tahu apa-apa tentang sistem yang dijalankan di sana. Hanya saja, aku adalah santri yang sangat patuh pada peraturan pondok. Tak sekalipun aku ketahuan melanggar peraturan-peratuannya yang dibukukan dalam "kode etik santri", semacam KUHP-nya Indonesia.

Setelah menjadi mahasiswa di fakultas hukum, aku tahu bagaimana system hukum yang dijalankan pesantren. Ternyata para ustazdku adalah penganut aliran positivistik, sama dengan mayoritas hakim di Indonesia. Orang-orang positivistik akan menjalankan aturan, mengenai sanksi, memutuskan dan menindak para terdakwa sesuai dengan aturan-aturan yang terbukukan, tidak melihat aspek terpenting dalam hukum yakni faktor sosial.

Seandainya saja aku bisa mengikuti proses sidang aku akan menjadi pengacara suka rela Fela. Paling tidak dengan posisi itu aku bisa membantu meringankan bebannya. Tapi sebelumnya aku juga harus melakukan analisis sosial secara sederhana. Targetku hanya cukup mempertahankan agar dia bisa terus melanjutkan study di pondok sekalipun hubungan kami terputus.

***



Sehari sebelum sidang, aku pergi ke pondok. Di sana kusempat dikagetkan oleh rumah baru bergaya Eropa dengan ukuran cukup besar. Pertanyaan pertama yang muncul di otakku. "Kira-kira rumah siapakah itu?”

Setelah kumelihat ada mobil antik di depan rumah itu, aku bisa tahu siapa pemiliknya. Pasti rumah itu milik Gus Hamid. Menantu kiaiku penggemar barang antik. Dia baru berusia kira-kira 35 tahun. Baru punya dua anak dan seorang istri yang cantik.

Tak bisa kubayangkan betapa suksesnya usaha Gus Hamid di pondok. Di tengah kegundahanku dengan rumah itu, Somad, temanku yang kini menjadi ustazd muda di pondok menepuk pundakku dari belakang.

"Assalamualaikum akhy....kaifa haluk?"

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah khoir. Antum kaifa ustadz?"

"Ane, kama taro, sehat wal afiat"

"Itu rumahnya siapa?" Tanyaku meyakinkan spekulasi.

"Dalem-nya Gus Hamid"

"Oh" Ternyata benar dugaanku. Praktek kapitalismenya ternyata sukses besar. Ini pasti juga didukung istrinya. Anak kiaiku.

Gus Hamid adalah Gusdak atau gus dadakan. Karena kepandaian dan kepatuhan pada pondok, dia diambil menantu kiai. Dulu dia pernah menjadi mahasiswa di Kairo.

Para santri menghormatinya, tapi tidak bagiku. Dia adalah penganut kapital kelas tinggi. Sama dengan kaum imperialisme kapitalis Barat menanam modal dimana-mana. Dia membuka kantin, toko buku, toko pakaian dan masih banyak yang lain tapi tidak memberi kesempatan orang lain untuk membuka usaha. Semua modalnya ditanam di pondok sendiri dengan menjadikan para santri sebagai konsumen utama.

Karirnya melonjak mengalahkan para ustadz yang telah lama mengajar di sini. Bayaran para ustazd pas-pasan. Tapi sepertinya Gus Hamid tak mau tahu. Dia malah memperkaya diri dengan kapitalisnya. Terakhir, dia membuat aturan untuk santri di ma'had aly agar memakai seragam saat belajar. Kain seragam harus beli darinya dengan harga yang dia tentukan sendiri. Entah berapa puluh juta untung yang didapatkan. Tapi ternyata kesejahteraan para ustazd masih dipertanyakan. Masih banyak ustazd-ustadz yang hidup susah. Padahal Gus Hamid kepala sekolah SMP. Miris sekali nasib ustazd-ustazd itu. Gus Hamid malah sering menceramahi ustadz dengan mengatasnamakan Islam bahwa dalam mengajar kita harus ikhlas dan hidup sederhana. Bayaran bukanlah faktor utama. Akibatnya para ustazd tidak maksimal dalam mengajar.

"Kenapa bengong jal?? Somad mengagetkan lamunanku.

"Oh enggak kog"

"Ayo ke kamarku" lanjutnya

Somad tak mengerti apa tujuanku kesini. Bahkan dia tidak tahu kalau aku sudah menjalin hubungan dengan Fela. Setahunya, aku pernah menaruh hati pada Fela.

“Liburan Jal?” Tanya Somad.

“Enggak. Eh, rumah Gus Hamid kapan dibangun?"

"Kira-kira baru dua bulan ini jadi. Antum nggak pernah kesini sih, makanya nggak tahu perkembangan pondok"

"Ya meskipun nggak kesini kan yang penting hubungan batin dengan pondok dan Kiai masih terjalin"

"Ya, benar tu omonganmu. Sekarang banyak santri yang jasadnya di sini tapi batinnya kemana-mana".

"Eh, Gus Hamid kok nggak poligami kayak gus-gus lainnya ya. Secara, beliau kan sudah kaya?" Tanyaku lagi.

"Wah. Antum ini gimana. Ane dengar-dengar nich, Gus Hamid mau nikahi Fela, santri putri yang kamu taksir dulu"

Deg. Tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu memukul hatiku. Tapi ku mencoba menahannya agar tidak terkena pukulan kedua.

"Terus, Fela mau?

"Kayaknya sih nggak mau"

"Kenapa?

"Setelah didekati terus oleh Gus Hamid, Fela masih terus menolak. Gus Hamid terus mencari alasan kenapa dia tak mau. Akhirnya Fela ketahuan kalau dia punya pacar. Nah ini yang menjadi masalah besarnya. Sekarang Fela terkena kasus berat ini. Kemungkinan besar dia akan dikeluarkan dari pondok"

Aku terdiam. Mencoba berspekulasi lagi. Ternyata Gus Kapital itu ada dibalik semua ini. Aku harus bisa memikirkan cara agar bisa menolong masa depan Fela.

Setelah jamaah Ashar, aku teringat dulu temanku pernah terkena kasus berat. Dan hampir dikeluarkan dari pondok. Namun setelah dia sowan pada para hakim sidang mahkamah satu, dia tak jadi dikeluarkan. Hanya mendapat sanksi cukur rambut dan berdiri di lapangan.

Akhirnya sore itu juga kuputuskan untuk mendatangi para ustadz yang akan menjadi hakim persidangan. Untungnya para ustadz hakim adalah uztazd-ustazd yang bisa diajak diskusi. Saya yang notabene santri yang sedang menjadi mahasiswa hukum menawarkan pada para ustazd agar tidak menjadi positifistis. Karena tindakan itu sebenarnya tidak berdasarkan hati nurani. Kujelaskan kepada mereka bahwa beberapa tahun terakhir paham sosiologi hukum mulai masuk pada beberapa hakim di Indonesia. Dengan sosiologi hukum ini diharapkan hakim bisa memandang faktor sosialnya dalam memberi sanksi pada tersangka.

Selain itu juga aku menawarkan kepada mereka agar dalam persidangan juga ada orang yang bia memberikan bantuan hukum kepada tersangka. Selama ini di pondok belum ada. Awalnya para ustazd pun keberatan dengan usulan keduaku.

"Ustazd. Bagaimana kalau kita coba saja dalam persidangan yang mungkin ada dekat-dekat ini. Aku bersedia menjadi pembantu tersangka. Mungkin sebagai salah satu contoh saja dan sebagai amalan ilmu yang pernah kupelajari di kampus" Jelasku. Para ustadz tidak tahu kalau sebenarnya kedatanganku ke pondok adalah untuk menyelamatkan Felas. Mereka tak tahu kalau akulah kekasih setia Fela.

"Ya. Okelah jal. Bagus itu usulmu. Terutama yang pertama. Baru kali ini aku tahu tentang itu. Aku juga terkadang merasa bersalah saat memutuskan santri dikeluarkan dari pondok. Kita cuma tahu kesalahan dan sanski bagi pelaku tapi tak tahu sebab-sebab melakukannya. Padahal itu juga penting. Dulu Sayyidina Umar tidak memotong tangan pencuri juga karena melihat sebab-sebab sosial sehingga mencurinya. Besok jam Delapan malam ada sidang, ente ikut saja sebagai pengacaranya"

"Injih ustazd. Tempat sidang masih sama seperti dulu kan?

"Iya Jal".

Dua ustaz bisa kuyakinkan. Namun ada yang belum bias. Gus Hamid. Dia juga menjadi hakim besok. Dia tidak ingin mempersulit sidang agar bisa dengan cepat mempersunting Fela. Aku gagal meyakinkan Gus Hamid.

Karena tak ingin berdebat aku mengalah saja. Yang penting besok aku bisa mengikuti sidang sebagai pengacara Fela.

***



Suasana sidang tegang. Mata Fela sudah berkaca-kaca sejak masuk ruang. Dia sempat kaget ketika melihatku berada di ruang sidang. Dia pasti tak tahu apa maksud kedatanganku. Aku tak tahan melihatnya bersedih seperti itu. Kulirik Gus Hamid yang sedang tersenyum sinis dengan mata buas melirik Fela.

Sidang dimulai. Aku sudah mantap akan membantu Fela agar tidak dikeluarkan. Usaha lahir batin sudah kulakukan. Tinggal sekarang penentuannya.

Ustadz Arifin sebagai hakim ketua membaca semua kesalahan dan sanksinya.

"Fela Nurlita binti Nur Rahmat telah melakukan hubungan khusus dalam kurung pacaran dengan seseorang sesuai dengan pengakuannya. Sesuai dengan pasal 3 ayat 6 perbuatana ini termasuk peanggaran berat dengan sanksi dikeluarkan dari pondok atau tetap di pondok tapi harus menikah"

Kulihat Gus Hamid tersenyum-senyum. Aku langsung menyampaikan keberatan dengan sanksi yang diberikan.

"Bismillah, ustazd-ustazd hakim yang terhormat. Kita tahu bahwa santri ketika masuk ke pondok membayar uang banyak, dipasrahkan orang tuanya dan didoakan oleh orang-orang sekampungnya. Apalagi Ukhty Fela Nurlita sudah tujuh tahun di pondok. Jika sanksinya seperti itu, betapa tidak punya rasa kasihan peraturan itu. Saya meminta para ustadz hakim tidak mengeluarkan terdakwa atau menikahkannya.

Kita tahu mengeluarkannya dari pondok adalah sama dengan menghacurkan masa depannya. Dia kesini untuk belajar. Kalau mngeluarkannya sama dengan melarangnya belajar. Padahal Islam memerintahkan semua umat islam untuk belajar. Dan jika dinikahkan, usia Fela Nurlita masih belum cukup. Dampak pikologisnya akan berakibat negatif. Seperti menurunnya semangat belajar dan konsentrasi terganggu.

Dan pacarnya juga masih studi di luar. Tak mungkin menikah. Alangkah baiknya jika Fela hanya membuat perjanjian agar tidak mengulanginya lagi dengan memutus hubungan dengan pacarnya. Saya yakin hal ini bisa dilakukan dan pacarnya bisa menerima keputusan ini demi kebaikan bersama. Mohon para hakim mempertimbangkannya". Aku menjelaskan panjang lebar.

"Afwan akhi" sela Gus Hamid

"Bukankah dulu sebelum mondok sudah ada perjanjian kalau santri harus patuh pada peraturan. Kalau terdakwa sudah masuk pondok ini berarti harus bisa menerima konsekuensinya. Dan pacaran itu perbuatan yang dilarang pondok dan agama. Jadi kalau memang pacarnya masih dalam study, lebih baik dinikahkan dengan orang lain yang bersedia. Agar maksiatnya berhenti. Kalau tidak, lebih baik keluar. Pondok ini tidak butuh banyak santri tapi santri yang butuh. Kalau mau patuh aturan silahkan nyantri di sini. Kalau tidak lebih baik keluar saja."

Gus kapital itu memang berambisi menikahi Fela. Fela hanya menunduk ditemani ustadzah. Sepertinya dia sudah tak bisa menahan air matanya.

"Kalau memang demikian, kenapa dulu sewaktu penerimaan santri tidak diseleksi dengan ketat. Malah dengan mudahnya mnerima santri tanpa pandang bulu yang penting membayar, mengisi formulir dan mengumpulkan syarat-syarat tertentu saja. Bukankah ini praktik materialisme?” Tanyaku

Sepertinya Gus Hamid tersindir. Dia jualah pengusaha kain seragam. Selama ini kebijakan tentang wajibnya mebeli seragam merpakan salah satu pendapatan wajibnya. Dia tak mau berpanjng lebar dengan ini. Karena sama dengan mengorek keburukannya sendiri

“Maaf Akh...peraturan di pondok sudah jelas. Tidak bisa diganggu gugat. Sebaiknya antum yang tidak tahu apa-apa tentang pondok ini diam saja. Tak usah sok tahu dengan peraturan yang telah lama kami jadikan acuan. Kalau keluar harus keluar, tak bisa ditawar-tawar” Bantah Gus Hamid

"Maaf Gus....saya disini sudah mendapat izin dari Ustadz Arifin dan Ustadz Taufik untuk menjadi pengacara suka rela Fela. Jadi saya juga punya hak untuk membelanya. Agar hukumannya diperingan” Jawabku dengan nada agak emosi. “Sudah-sudah. Tidak ada gunyanya berdebat. Kami akan memutuskannya.” Ustadz Arifin, selaku ustadz tertua dalam forum sidang menengahi adu mulut kami.

“Agar tidak berlarut-larut, alangkah baiknya jika ustadz-ustadz hakim memutuskan secepatnya" Kataku. Rasanya aku puas bisa mengatakan itu semua.

Kami menunggu lima belas menit untuk mendengar putusan terakhir para hakim. Di tengah itu, kupandangai wajah Fela dari kejauhan. Dia hanya bisa pasrah dan berdoa. Aku pun demikian, hanya mampu berdoa setelah semua keberatanku tersampaikan di forum sidang. Semoga Allah memberi jalan terbaik bagi kami.

Setelah ditunggu, akhirnya Ustadz Arifin membacakan putusan sidang.

“Setelah kita melihat, menimbang dan mempertimbangkan kasus dan aspirasi yang berkembang dalam persidangan maka kami putuskan bahwa Ukhtuna Fela Nurlita binti Nur Rahmat dikanakan sanksi membuat pernyataan bermaterai untuk tidak melanjutkan lagi hubungannya dan harus membersihkan kamar mandi para santri selama tiga hari berturut-turut.

Dalam hati, aku bersyukur kepada Allah yang memberikan jalan terbaik. Fela tak jadi dikeluarkan dari pondok dan tidak harus menikah. Akhirnya aku bisa melawan niat buruk gus kapital itu. Aku semakin yakin Fela adalah jodohku. Suatu saat nanti aku akan melamarnya. Apapun yang terjadi kami akan selalu berdua walau kita berpisah untuk sementara.

***



Satu bulan kemudian nasib tragis menimpaku. Aku mendengar rencana akad nikah antara Gus Hamid dan Fela dari adikku. Ternyata apa yang kulakukan saat persidangan dianggap Fela sebagai upayaku untuk mengakhiri hubungan. Seminggu setelah sidang, Gus Hamid mendatanginya dan melamarnya. Karena menurutnya aku sudah tak mencintainya lagi, Fela menerima lamaran Gus Hamid.

Astaghfirullah. Ternyata apa yang kukerjakan membuahkan hasil yang menyakitiku. Buah yang sangat pahit. Ini memang salahku sendiri tidak memberi tahu Fela sebelumnya. Aku harus sendiri lagi. Mengobati luka sedalam ini. Entah sampai kapan aku tak bisa hidup seperti dulu lagi. Harapan untuk menikahinya terlalu tinggi hingga rasa sakitku sangat mendalam saat ku jatuh. Allahu Robby. Tolonglah hamba-Mu ini. Saya mulai percaya pada adagium bahwa komunikasi yang buruk adalah penyebab utama hancurnya suatu hubungan.

0 COMMENTS:

Posting Komentar

komentar via facebook, silahkan isi kolom di atas.
komentar melalui blogger/ url / anonim silahkan isi di bawah ini....
okecoy...


MBS FM

Monggo Di Klik

KASKUS GRESIK Blog'e Cak HavyPhotobucket
mbs fm Photobucket